Mahardika:
Terbebas dari budak Indriya

Merdeka artinya bebas, tidak terikat, atau tidak dijajah, dapat diartikan lepas dari segala ikatan yang tidak pantas atau layak, sehingga menjadi bebas untuk menentukan nasib sendiri demi segala kebaikan. Mahardhika merupakan asal dari kata merdeka dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1). mahardika berarti berilmu (cerdik, pandai, bijak); 2). Berbudi, luhur; 3). Bersifat bangsawan. Dalam bahasa portugis terdapat kata mardijkers (baca “mardeykeers”) yang memiliki persamaan dengan mahardhika adalah mantan budak Portugis yang dibebaskan Belanda di Melaka, dan diangkut ke Batavia. Kata inilah yang merupakan asal kata merdeka dalam bahasa Indonesia sekarang yang artinya adalah orang-orang yang dibebaskan dari perbudakan.

Perbudakan yang sebenarnya adalah perbudakan dalam diri oleh hawa nafsu sad ripu; kama, krodha, lobha, mada, moha, matsarya. Keenam musuh inilah yang menjadi cikal bakal dari semua kekejaman manusia terhadap sesamanya. Kecenderungan berbuat kejahatan (asuri sampad) membawa perilaku manusia tidak terkendali, pembunuhan, perampokan, korupsi, pemerkosaan, dan sebagainya menjadi hal yang biasa terjadi dewasa ini. Manusia telah terjebak dalam perbudakan nafsu yang ada di dalam dirinya, begitu sulit lepas seolah terpenjara dalam badan sendiri

Ketika badan menjadi penjara bagi sang atma, maka atma hanyalah pelayan nafsu indriya yang tiada habisnya serta mendatangkan penderitaan dan kesedihan dalam lautan samsara. Namun demikian manusia cenderung tidak sadar bahwa dirinya sedang dalam belenggu kemabukan yang disebabkan oleh gemerlap dunia. Seolah dunia ini ingin ditelan untuk memuaskan nafsu indriya. “Kemerdekaan Diri” terasa hanya menjadi angan-angan belaka bagaikan langit yang tak tergapai. Namun demikian harus ada upaya secara tekun dan disiplin untuk lepas dari belenggu perbudakan nafsu duniawi seperti yang tercantum dalam Nitisastra IV.19:

Lwirning mandadi madaning jana
Surupa dhana kula-kulina yowana.
Lawan tang sura len kasuran
Agawe wereh I manahukang sarat kabeh.
Yan wwanten sira sang dhanecwara
Surupa guna dhana kulina yowana.
Yan tan mada maharddhikeka
Pangaranya sira putusi sang pinan dita.

Terjemahannya:
Yang bisa membikin mabuk, ialah ketampanan kecantikan, harta-benda, darah bangsawan dan umur muda. Juga minuman keras dan keberanian bisa membikin mabuk hati manusia. Jika ada orang kaya, indah rupanya, pandai, banyak harta bendanya, berdarah bangsawan lagi muda umurnya, dan karena semua itu ia tidak mabuk, ia adalah orang yang utama, bijaksana tak ada bandingnya.

Nitisastra IV.19 memberikan berapa pemahaman tentang “Kemerdekaan diri”. Pertama; memahami penyebab dari kemabukan adalah tujuh kegelapan pikiran yang disebut sapta timira. Surupa yaitu berparas baik (rupawan), hidup berkecukupan, usia muda, lahir dalam keluarga terhormat, memiliki otak yang cerdas adalah sebuah karunia yang patut disyukuri dengan cara yang sewajar-wajarnya dan tidak berlebihan yang dapat menimbulkan tindakan angkuh yang merugikan orang lain dan diri sendiri. Kebiasaan minum-minuman keras hendaknya dihindari karena dengan meminum minuman keras dapat menurunkan kesadaran sehingga cenderung berbuat negatif. Tidak perlu menunjukkan keberanian jika bukan pada tempatnya dan bukan untuk suatu tindakan yang benar. Ketujuh hal yang membawa pikiran pada hal-hal negative ini hendaknya diamati dan dikontrol.

Kedua; dalam kondisi apapun (kaya, tampan/cantik, pandai, keturunan bangsawan/pejabat, masa muda, pemberani) pikiran seseorang hendaknya diupayakan senantiasa seimbang sehingga tidak diperbudak oleh indria yang berakibat gelapnya pikiran. Kunci dari semua itu adalag bagaimana seseorang mengendalikan pikirannya sehingga terbebas dari tujuh macam kemabukan yang menyengsarakan dan menjadikan sang atma sebagai budak pelayan dari indria yang seharusna sebagai tuan dari badan ini. Janganlah sekali-kali mencoba meneguk minuman keras atau obat-obatan terlarang yang dapat menyebabkan kecanduan.

Ketiga; bebaskan diri dari belenggu kesombongan, keangkuhan dan pengaruh sapta timira dengan menjadikan diri sebagai “Sang Mahardika”, orang yang mampu menundukan musuh-musuh dalam diri. Manakala hal ini dapat dicapai inilah kebebasan yang sejati yang menjadikan seseorang sangat mulia yang disebut Pandita putus yaitu orang suci yang sangat bijak yang tiada bandingnya di dunia ini. Putusnya ikatan sapta timira dan belenggu sad ripu melalui penguasaan indriya melahirkan kebahagiaan yang tiada henti-hentinya (suka tan pawali dukha).

Ikatan indriya terhadap objek duniawi begitu kuat, sehingga tidaklah mudah memutus ikatan indriya dari objeknya. Hal inilah yang menyebabkan kesulitan terbesar menusia untuk meraih kemerdekaan diri. Gerandha Samhita.4 menegaskan betapa kuatnya ikatan maya (duniawi) sebagai berikut:

“na sti maya sanah paso, nasti yogat param balam nasti jnanat paro bandhur, na aham karat paro ripuh”

Tiada ikatan selain Maya, tiada kekuatan selain Yoga, tiada sahabat sejati selain Jnana, tiada musuh selain Ahangkara. (Gerandha Samhita.4)

Gerandha Samhita menjadikan Yoga sebagai solusi atas masalah ikatan Maya (duniawi). Yoga menyajikan bagaimana indriya seharusnya dikendalikan melalui latihan tahapan-tahapan Yoga yang disebut astangga yoga. Rsi Patanjali dalam yoga sutranya menegaskan yoga adalah pengendalian gelombang pikiran (yogas citta wrti nirodhah, YS.1). pengendalian indriya dilakukan melalui penguasaan pikiran sebagai rajanya indriya, melalui yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan Samadhi. Kedelapan tahap ini merupakan sistem utuh yang tidak akan dipisahkan untuk mewujudkan tujuan Yoga yang sebenarnya.

Yama dan Niyama Bratha mutlak harus dilaksanakan dengan segenap bhakti. Bhakti merupakan inisiasi bagi seorang siswa kerohanian yang ingin mendalami Yoga. Inisiasi bratha merupakan janji seorang siswa kerohanian kepada diri sendiri, Guru, kepada leluhur dan Ista Dewata dari Yoga yang dilakoni. Yama dan Niyama adalah praktek (sadhana) untuk meperoleh karunia tuntunan, perlindungan, dan anugerah dari praktek Yoga. Sarasamuccaya menjelaskan bahwa praktek ahimsa merupakan sarana untuk mencapai tujuan:

Yaccintayati yadyati ratin badhnati yatra ca,
Tatha capnotyayatnena praniro na hinasti yah.
Kuneng phalanya nihan, ikang wwang tan pamatimatin heneng rat,
Senangenangenya, sapinaranya, sakahyunya,
Yatika sulabha katemu denya, tanulihnya kasakitan.

Terjemahan:
Pahalanya, orang yang tidak membunuh (manyakiti) selagi ada di dunia ini, maka segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala yang ditujunya, segala sesuatu yang dikehendaki atau diingini olehnya, dengan mudah tercapai olehnya tanpa sesuatu penderitaan (Sarasamuccaya, 142).

Muhandas Karamchand Gandhi atau lebih dikenal Mahatma Gandhi telah membuktikan kekuatan ahimsa dalam melawan penjajahan Inggris, hingga akhirnya India merdeka pada tahun 1947 setelah perjuangan panjang selama 30 tahun. Salah satu pernyataan Mahatma Gandhi tentang perbudakan adalah bahwa “perbudkan yang sesungguhnya berada dalam pikiran”. Gandhi akhirnya digelari sebagai Bapak Bangsa India dan juga mendapat julukan Mahatma “orang yang berjiwa agung”. Ia adalah contoh dari orang yang telah Mahardika orang bijak yang bebas dari perbudakan indriya bahkan ketika negaranya masih dalam kondisi terjajah.

Keyakinan akan kebenaran bahwa penjajahan dan perbudakan harus dihapuskan dari bumi Nusantara melalui persatuan dan kesatuan juga melatar belakangi kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga kemerdekaan Indonesia bukanlah milik sekelompok orang, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Namun disaat kita merdeka justru banyak orang terpenjara dalam perbudakan hawa nafsu, mengikuti keinginan indriyanya, sehingga korupsi merajalela di negeri yang beragama. Kemerdekaan yang satu inilah yang belum diraih bangsa Indonesia. Semoga mulai dari individu-individu yang mahardika, Indonesia menjadi benar-benar merdeka.

Sumber:
Gde Adnyana