Mebuncing

Tradisi “Mebuncing” Hyang Dong dan Hyang Ding

Tradisi unik secara turun temurun sebagai bagian dari budaya lokal dilaksanakan setiap setahun sekali pada hari tilem kesanga di Desa Pakraman Muncan, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Tradisi unik itu disebut Mebuncing yang dilaksanakan dengan cara menyimbolkan kekuatan Purusa-Predana kedalam bentuk sepasang patung berwujud laki-laki dan perempuan yang kemudian dipertemukan dan diupacarai pawiwahan layaknya seorang manusia.

Jro Gede Suwena Putus Upedesa selaku bendesa desa pakraman Muncan menjelaskan bahwa tradisi mebuncing merupakan tradisi yang sudah terlaksana secara turun temurun yang melambangkan pertemuan antara kekuatan purusa (laki-laki) dan kekuatan predana (perempuan) sebagai perwujudan Tuhan sebagai Guru akasa dan Ibu pertiwi.




“Tradisi di desa kami yaitu di desa muncan, wilayah kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem ini merupakan tradisi sejak dulu kala yang dikenal dengan dresta desa, dimana kita menghormati mengagungkan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Beliau itu sebagai Guru Akasa dan Ibu pertiwi sebagai simbol kehidupan dan kesejahteraan” jelas Jro Gede.

Perwujudan patung yang berbentuk (laki-laki) purusa dan predana (perempuan)itu merupakan bentuk dari perlambang dua kekuatan besar yaitu kekuatan Siwa dan kekuatan Durga. Patung laki-laki dibuat dari kayu sakti (kayu dapdap) yang bercabang tiga, sedangkan yang perempuan sebagai lambang dewi durga dibuat dari pelepah pohon enau yang sama sekali belum pernah diambil buahnya.

“Dalam tatatan kehidupan masyarakat karma di Desa muncan ini dilinggakan Beliau yang laki Purusa sebagai Siwa dalam patung yang terbuat dari kayu sakti yaitu kayu dapdap kemudian yang perempuan predana simbol daripada Dewi Durga yang terbuat dari pelepah daun enau yang belum pernah diambil buahnya jelas” tambahnya.

Kedua patung (prelingga) tersebut yang merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan sebagai prelingga Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Durga yang distanakan tepat pada catus pata Desa Pakraman Muncan. kedua prelingga tersebut distanakan dengan diibuatkan sejenis pelinggih yang lengkap dengan tembok penyengker (pembatas) terbuat dari anyaman daun kelapa, dihias seperti pelinggih lengkap dengan lelontek dan tedungnya. Kemudian prelingga Sang Hyang Siwa dan Hyang Durga distanakan pada tempat tersebut selama 21 hari. Prelingga Sang Hyang Siwa yang berwujud patung laki-laki disebut Sang Hyang Dong dan prelingga Sang Hyang Durga yang berbentuk patung perempuan disebut Sang Hyang Ding.

“Beliau distanakan disini selama 21 hari yang lalu, dimana sebelum mencari bahan-bahan lingga ini, kalau dulu dikenal dengan lingga yoni tapi bagi kami disini Ida disebut Ida Hyang Dong dan Ida Hyang Dingsebagai simbol predana dan purusa” imbuh Jro Gede.

Setelah distanakan selama 21 hari kemudian pada hari puncaknya yang tepat pada hari tilem kesanga, kedua patung prelingga tersebut diupacarai dengan ritual pawiwahan layaknya seorang manusia. Setelah selesai dilaksanakan upacara pawiwahan, kemudian secara vulgar kedua patung tersebut dipertemukan dan disatukan layaknya hubungan suami istri yang ditandai dengan pemukulan kulkul (kentongan) besar yang merupakan kentongan terbesar di Indonesia oleh Bendesa desa pakraman muncan. Riuh kegembiraan ditunjukan oleh seluruh prajuru desa dan warga Desa Pakraman Muncan pada saat dimulainya mempertemukan kedua patung, dan bahkan diselingi oleh gelak tawa dari mereka yang menyaksikan prosesi itu. Semarak tabuh bale ganjur juga menjadi penambah semangat dan kegembiraan seluruh krama desa yang mengikuti ritual mebuncing ini.

“Pawiwahan ini dilakukan nantinya pada jam sekitar jam 5 atau jam 6 dilakukan di catus pata ini dan kemudian ibaratnya seperti dikawinkan Secara vulgar nanti dilaksanakan oleh prajuru-prajuru desa dengan perkawianan ini, kentongan desa berbunyi itu yang dikenal dengan katik bunga silegui yang terbesar di Indonesia, terbesar di Bali, terbesar di dunia dan satu-satunya ada disini itu kemudian nantinya disuarakan sebelas kali oleh saya sendiri sebagai bendesa”
jelasnya Jro Gede lagi.

Ritual mebuncing ini memberikan manfaat positif terhadap seluruh krama di lingkungan desa pakraman Muncan, hal ini dibuktikan dengan adanya banyak warga (karma) yang menghaturkan puji syukur dengan mempersembahkan upakara kaul sebagai wujud terimakasih atas karunia yang telah diberikan anugrah untuk memperoleh keturunan. Begitupula jika kegiatan ritual ini tidak dilakukan oleh krama Desa Pakraman Muncan diyakini akan terjadi sebuah keadaan yang tidak baik (malapetaka) yang akan terjadi di desa tersebut. Sehingga ritual ini merupakan ritual yang wajib diadakan setiap tahun demi keselamatan dan kesejahteraan warga desa pakraman Muncan secara khusus dan kesejehteraan alam semesta secara umum.

“Orang juga banyak tadi yang datang mengahaturkan pengastungkara karena mereka-mereka itu memohon kepada beliau agar diberikan bisa punya anak (kaul) jadi cuku banyak yang sudah memohon keseini untuk memohon anugrah untuk bisa bisa punya anak, Diberikan suatu upacara tawur kesanga diberikan lelabaan dan caru lain sebagai dalam rangka menyeimbangkan kekuatan negatif dengan kekuatan posotif agar benar-benar bermanfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Kalau ini sampai tidak dilakukan orang disini bisa jadi orang disini tidak akan punya anak dan akan mendatangkan malapetaka” ungkap jro Gede.

Tradisi yang dilaksanakan secara nyata memperlihatkan sebuah proses pertemuan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara vulgar tidak hanya dilihat secara proses visualnya saja, lebih dari itu ritual ini merupakan simbol proses pertemuan antara (laki-laki) purusa dan (perempuan) predana yang kemudian akan menju pada simbol kesuburan dan kemakmuran alam semesta beserta segala isinya.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoresi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…

Sumber:
suluhbali