Categories: Sejarah Pura

Pura Luhur Penataran Pucak Mangu

Pura Luhur Penataran Pucak Mangu

Gunung Mangu hampir tidak pernah ketinggalan sebagai salah satu yang penting artinya sebagai linggih Dewa-Dewa Astalokaphala, seperti halnya Gunung Lempuyang, Gunung Agung, Gunung Andakasa, Gunung Batur, Gunung Mangu dan Gunung Watukaru.

Gunung Andakasa dan Gunung Mangu mungkin karena tidak tercantum namanya di Peta Pulau Bali, sehingga jarang orang mengetahuinya. Mengapa di dalam peta tidak tercantum namanya ? Hal ini mungkin disebabkan karena gunung itu tidak begitu besar/tinggi atau mungkin karena tidak ada keistimewaannya dari segi lahiriah, lain halnya dengan Gunung Batur walaupun gunung ini juga tidak begitu tinggi, tetapi karena sering meletus sehingga jadi terkenal. Demikian juga halnya di dalam babad ataupun usana, nama penyebutan gunung-gunung seperti Gunung Beratan, Gunung Pengelengan dan Gunung Mangu sering berbeda terutama mengenai nama Ida Bhatara yang melinggih di gunung tersebut. Di bawah ini kami cantumkan petikan Babad Mengwi yang menyebutkan tentang nama Gunung Mangu, dimana Parahyangan di puncak gunung tersebut sampai sekarang masih menjadi tempat pemujaan turunan Raja Mengwi, sebagaimana berikut :

Kunang pwa I Gusti Agung Putu tan lad sira ammangunangen ring cita didine sira amalesa wirang, ring I Gusti Ngurah Watutumpeng. Ika ta anangenangenira sari-sari dadi wetu cita nira, kaya tinuduh dening Hyang, harep humintara sah saking wratmara desa, kalaning we rahayu sumusup ring seket nikang, humungsir yagraning parwata Mangu, tan warnanen lampah nirena awan, mangke dateng ring pucaking Gunung, laju ta sira asila, mangarcana ri hyanghyanging parwata.
Terjemahan bebasnya :
Adapun I Gusti Agung Putu tak habis-habisnya berpikir di dalam hati, agar bisa membalas dendam “wirang” terhadap I Gusti Ngurah Watutumpeng. Itulah yang dipikirkan beliau sehari-hari, sehingga muncul maksud beliau, seperti diperintahkan oleh Hyang berkeinginan untuk pergi dari Desa Marga pada waktu hari yang baik masuk ke dalam semak-semak dari hutan menuju ke Puncak Gunung Mangu, tidak diceritakan di perjalanan sekarang datanglah di puncak gunung, segeralah beliau bersila memuja kepada Hyangning Parwata.

Kalau demikian, di gunung di mana I Gusti Agung Putu itu Ndewasraya ? Gunung yang dimaksud adalah gunung yang berada di sebelah Timur Laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Mangu, Pucak Beratan, Pucak Pangelengan dan Pucak Tinggan. Menurut cerita-cerita turunan Pande Beratan (dalam hal ini Mangku Pande) yang bernama Made Berata, pada jaman dahulu daerah sekitar Danau Beratan itu dihuni oleh kelompok warga Pande dan menyebut dirinya Pande Beratan sebab yang ada di tepi danau ini bernama Desa Beratan, sehingga danaunya lebih dikenal dengan nama Danau Beratan dan gunung di atas danau itu bernama Gunung Beratan., sesuai dengan nama desa di bawahnya. Adapun gunung yang disebut Gunung Beratan itu adalah gunung yang sama yaitu Gunung Mangu yang disebut dalam Babad Mengwi.

Upahvare giringan samgthe ca
Nadinam dhiya vipro ajayata.
(Rgveda VIII.6.28)
Maksudnya:
Di tempat-tepat yang tergolong hening, di gunung-gunung dan pertemuan dua sungai, di sanalah orang bijak (viprah) mendapatkan pemikiran yang jernih.

Pura Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.

Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.

Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.

Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.

Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.

Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.

Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.

Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).

Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.

Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.

Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.

Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.

Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali. * I Ketut Gobyah

Sebagaimana umumnya pura-pura/parahyangan-parahyangan di pucak gunung, biasanya mempunyai penataran agung terletak di pangkal gunung bersangkutan seperti misalnya Gunung Agung dengan Pura Penataran Agung Besakih, Gunung Batur dengan Penataran Agung Batur, Gunung Watukaru dengan Penataran Agung Watukaru. Khusus mengenai Gunung Mangu, disamping di puncaknya sendiri berdiri bangunan-bangunan yang cukup besar, bahkan bangunan yang paling besar dari bangunan-bangunan yang ada di puncak gunung karena bangunan di Puncak Gunung Lempuyang pun lebih kecil, juga Gunung Mangu mempunyai keistimewaan yaitu mempunyai dua buah Penataran Agung.

Penataran Agung yang pertama, didirikan oleh I Gusti Agung Putu, alias Cokorda Sakti Blambangan, pada tahun 1555 çaka atau 1633 masehi yang terdiri atas :

  1. Satu komplek palinggih Dalem Purwa
  2. Satu komplek Penataran terdiri dari :
    • Meru tumpang 7, Pasimpangan Bhatara di Tratai Bang
    • Meru tumpang 11, Palinggih Bhatara di Tengahing Segara (Ulun Danu)
    • Meru tumpang 3, Palinggih Bhatara di Pucak Mangu, juga disebut Palinggih Lingga Petak, karena di bawah meru itu dijumpai batu putih besar sebesar manusia, diapit oleh batu merah dan batu hitam.

Lokasinya adalah di tepi barat Danau Beratan. Pengemong dari Penataran Agung ini adalah empat satakan, yaitu : Banyan, Antapan, Baturiti dan Candi Kuning. Kalau ada kegiatan pembangunan atau upacara maka Puri-Puri Marga, Belayu, Pererenan dan Mengwi, selalu diminta sebagai manggala. Upacara piodalannya diatur pada Anggara Kasih Medangsia.

Penataran Agung yang kedua, adalah Penataran Agung yang terletak di Desa Tinggan. Penataran Agung ini didirikan pada tahun 1752 çaka atau 1830 masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun, yang terdiri dari beberapa palinggih pokok, yaitu :

  1. Meru tumpang 11, Palinggih Bhatara di Pucak Mangu
  2. Meru tumpang 9, Palinggih Bhatara Teratai Bang
  3. Meru tumpang 3, Palinggih Bhatara di Pucak Bon
  4. Gedong dengan lima ruang (semacam plangkiran) adalah palinggih Bhatara Pucak Sangkur, selaku Bhagawanta Bhatara di Pucak Mangu. Kedudukan Bhatara di Pucak Sangkur, sama seperti Bhatara di Pura Jati untuk Pura Batur.
  5. Padmasana (Surya)
  6. Padma rong tiga untuk pangubengan
    – Dan palinggih-palinggih kecil lainnya.

Adapun sebabnya Pura Pucak Mangu mempunyai 2 Penataran Agung adalah karena sekitar permulaan abad ke-19 Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran dimana Puri Marga Perean yang menguasai daerah sampai di sekitar Danau Beratan berbalik dan tidak lagi tunduk pada Kerajaan Mengwi oleh karena itu maka Raja-Raja Mengwi yang ingin sembahyang ke Pura Penataran ke Beratan tidak berani ke sana. Itulah sebabnya Raja Mengwi mencari daerah yang masih dikuasai dan terletak di kaki Gunung Mangu. Daerah itu adalah daerah di sebelah timur Gunung Mangu yaitu Desa Tinggan. Demikianlah sedikit tambahan penjelasan mengenai Penataran Agung Pucak Mangu.

Dalam versi Raja Purana Pura ulun Danu Batur, kedua situs keindahan Bali ini memang memiliki keterkaitan integrasi langsung, bukan berdiri sendiri-sendiri. Adalah Tukad (Sungai) Pelisan yang menjadi simpul menghubungkan mengintegrasikan situs kawaskan Danau Batur dengan Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan di bawah kaki Gunung (Pucak) Mangu itu.

Toh, Kintamani Batur tetap masih kalah kaya-raya tinimbang Pucak Mangu. Manakala Gunung Batur cuma punya satu danau, Pucak Mangu justru memiliki menaungi sekaligus tiga danau, yakni Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan. Lebih unik mempesona lagi justru karena masing-masing danau ini dikawal gugusan gunung tersendiri, sehingga kawasan situs Pucak Mangu ini praktis nyata senyata-nyatanya dikawal tiga gugusan kelompok bentang gunung.

Cermati sajalah, di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat. Danau Buyan. Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.

Padu-Padan integrasi gunung-danau itu menjadikan konsepsi triloka tribhuwana sekaligus sumbu poros lingga-yoni, purusa-pradana, serta sagara-giri dalam bentang fisik alam seakan terintegrasi menyatu di Pucak Mangu: danau ber-air di kaki gunung, daratan tanah di lereng gunung, dan angkasa luas bebas lepas di puncak menuju menyangga langit akasa lepas tak berbatas. Gunung sebagai lingga acala yang tiada bergerak sekaligus tiada terciptakan manusia sekaligus berstatus purusa bergamit padu-padan dengan danau sebagai yoni yang dinamis sekaligus sebagai pradana. Di situ integrasi mistis yoga semesta tergelar tiada henti.

Maka tinggalan megalitik berupa batu alam, lalu lingga yang menjulang lurus dengan pancangan ”pancering jagat” di tanah puncak gunung tiada ubahnya menembus lurus ke langit sebagai titik orientasi pusat tuju. Ulu Lingga di mandala utama Pura Pucak Mangu, yang senyatanya memang dibiarkan tetap menembus bumi pertiwi, layaknya pancering jagat di Trunyan, itu tiada ubahnya titik pancang ”pancering jagat” tidak langit sebagai hulunya hulu utamaning utama jagat Bali dengan konsep pra-Hindu pra-India, dan pastilah otomatis pra-Majapahit feodal berkasta-kasta. Dapat dipahami bila yang memuja muput ritus rutin maupun utama (kalangan ”Majapahitan” belakangan menamai tradisi ini dengan sebutan politis-rada arogan ”sima gunung” yang seolah mengesankan terbelakang, primitif) di sini bukanlah sulinggih model-model Majapahit, melainkan kubayan-lah yang bertugas menjalankan tirta pamuput dari Ida Bagawanta di Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur, di utara (hulu) danau Beratan.

Berposisi dengan ketinggian 2.020 m dpl (di atas permukaan laut) dalam bentang geografis 08 derajat 24’23” Lintang Selatan (LS) dengan 11 derajat 11′,15” Bujur Timur (BT), Pucak Mangu lebih komplit sempurna lagi menghamparkan keunikan istimewa bagi jagat Bali. Bentang garis titik nol Pucak Mangu sekaligus menjadi tanggun kaja, batas paling utara, orientasi arah baik bagi kawasan Bali Selatan (Badung) maupun Bali Utara (Buleleng).

Bagi manusia Bali, arah kompas utara memang tidak selalu identik dengan orientasi arah kaja, karena kaja sebagai orientasi bukan menunjuk pada arah jarum kompas melainkan justru menunjuk ke arah gunung. Karena gunung-gunung jagat Bali berada di tengah-tengah (baca kembali BPM edisi Minggu Umanis, 16 Maret 2003 lalu di halaman ini) maka kaja bagi masyarakat Bali Utara jelas menunjuk kawasan gunung di sisi selatan. Sebaliknya, bagi masyarakat Bali Selatan, kaja jelas menunjuk gunung di sisi utara. Dengan begitu bentang batas utara (tanggun kaja) daerah Bali Selatan (Badung) adalah Pucak Mangu. Begitupun tanggun kaja Bali Utara (Buleleng) juga di Pucak Mangu.

Maka di sini, di Pucak Mangu, inilah titik temu batas (tanggun) kaja dengan kaja dua belahan Bali: utara dan selatan. Inilah kajaning kaja (utaranya utara) Bali Selatan maupun Bali Utara. Karena arah kaja, ke gunung, bagi manusia Bali merupakan ulu (hulu, kepala) dan utara, maka kajaning kaja Pucak Mangu sekaligus merupakan uluning ulu (hulunya hulu) dan utamaning utama (utamanya utama) Bali Selatan maupun Bali Utara.

Selain sebagai kajaning kaja Badung dan Buleleng (2-B), keunikan istimewa situs kawasan Pucak Mangu ini masih ditambah lagi dengan posisinya sebagai radius titik kamu batas bagi tiga kabupaten lain di Bali: di arah barat Tabanan, di arah timur Bangli, di arah tenggara Gianyar. Dengan begitu, setidaknya Pucak Mangu menyayomi memberi vibrasi bentang keindahan spiritual ekologis sekaligus ekonomis bagi lima kabupaten dari delapan kabupaten di Bali (dulu, sebelum Denpasar menjadi Kota tersendiri. Hanya Bali Timur (Karangasem) dan Bali Barat (Jembrana) tak mengait langsung dalam jangkauan vibrasi Pucak Mangu. Itu berarti, Pucak Mangu sebagai titik sentrum Bali Selatan (Badung), Bali tengah (Tabanan, Gianyar, Bangli), dan Bali Utara (Buleleng).

Sepatutnya memang Pucak Mangu menjadi hulu orientasi spiritual agraris maupun semodern apa pun sebagian besar manusia di daratan Bali nanti. Ini penting karena sangat jelas benderang nyata sudah ditunjukkan lewat alir air sungai subak yang berpusat hulu di tiga danau itulah sebagian besar manusia di daratan Bali mendapatkan air penopang hidup. Tak terkecuali yang dialirkan lewat lembaga bernama PDAM (perusahaan daerah air minum) maupun oleh badan-badan swasta komersial berkerakusan yang mengemas air ke dalam gelas, botol, maupun galon plastik!

Sepatutnya memang Pucak Mangu menempati posisi penting dalam bentang jagat spiritual kosmologi Bali dengan status sebagai pura Sad Kahyangan sekaligus Pura Padmabhuwana dengan posisi utara/Barat-laut arah barat laut (wayabya/kaja kauh, titik temu utara dan barat), sebagai stana Hyang Manikumayang, Sangkara, bersenjata gaib Angkus, dengan aksara suci SING, berpenggetaran rupa warna hijau. Dalam wujud ragawi bangunan suci di Pura-Pura desa di Bali diwujudkan berupa bebaturan perwakilan stana Hyang Anantabhoga, sumber sandang pangan tiada akhir tiada berpenghabisan.

Karena itu, situs keindahan Pucak Mangu (hingga Kintamani Batur) harus seharus-harusnya dijaga, dilindungi kelestarian keajegannya oleh semua manusia, tanpa pengecualian, yang hidup di atas tanah Ibu Bumi Pertiwi Bali ini. Pembabatan hutan, pengalihfungsian semena-mena lahan menjadi kawasan terbangun beton fisik, mencemari air danau, dan perilaku destruktif semacamnya semestinya diganjar sanksi berat karena sesungguhnya perilaku demikian telah mengancam kelangsungan hidup manusia dan mahluk banyak lewat perusakan situs alam keindahan itu.

Sayang, sungguh teramat sayang, bila gara-gara alasan PAD (pendapat asli daerah) nanti malah jadi rebutan, hendak dipotong-potong, dikapling-kapling. Padahal, aliran air dari danau ke sungai-sungai yang menembus desa-desa, antarkecamatan, kabupaten-kabupaten, lalu berhilir muara di laut lepas begitu utuh, tidak mungkin bisa dipotong-potong dikapling dengan alasan PAD. Itu sebab, tradisi sawinih yang berdasar orientasi pada hulu danau dan aliran air sungai menjadi penting, bukan berdasarkan teritori kabupaten. Ini tentu bila benarlah semua hendak berpikir Bali holistik-menyeluruh tetap sebagai satu kesatuan utuh ekologi, kosmologi, sumber daya, maupun budaya berbasis spiritual. Lebih konyol salah kaprah lagi bila yang nyiwi menopang keajegan Pura Pucak Mangu sebagai Kahyangan Jagat hanya warga Kecamatan Mengwi dan Petang, Badung. Padahal, nyata senyata-nyatanya Pucak Mangu menjadi ”ulu subak” manusia Bali di kawasan Bali selatan, tengah, dan juga utara. Lewat PDAM dan produk perusahaan air kemasan, maupun aliran sungai-sungai maka sepatutnya Pucak Mangu di-sungsung ditopang keajegannya oleh semua manusia di Bali. Air yang mengalir dari ketiga Danau itu ditenggak semua orang di tanah Bali, lebih-lebih lagi di Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar, lantas kok yang memikul beban berat kewajiban bersyukur cuma petani subak bekas seputar Mengwi dan Petang? Apa manusia modern bergaya kota, berpendidikan berijazah sekolah formal, tidak bisa (atau merasa tidak perlu) bersujud bersyukur lagi karena jumawa merasa bisa menciptakan air tanpa karunia waranugraha Hyang Danawa, Hyang Manikumayang, Hyang Sangkara yang di-sungsung dipuja di Pura Pucak Mangu dengan penataran di Tinggal dan Ulun Danu Beratan Itu? Beh, di mana ada manusia bisa hidup tanpa air tanpa topangan alam semesta raya? * I Made Prabaswara

Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap. Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,
agungsujana

Recent Posts

Pura Pengubengan – Besakih

Pura Pengubengan - Besakih Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui…

2 years ago

Sanghyang Tumuwuh

Sanghyang Tumuwuh di Pura Batukaru Avir Vai nama devata, rtena-aste parivrta, tasya rupena-ime vrksah, harita…

3 years ago

Arya Kenceng

Arya Kenceng Arya Kenceng adalah seorang kesatria dari Majapahit yang turut serta dalam ekspedisi penaklukan…

3 years ago

Pura Andakasa

Pura Andakasa Pura Andakasa adalah pura Kahyangan Jagat, yang merupakan deretan pura utama yang ada…

3 years ago

Pura Pucak Bukit Sangkur

Pura Pucak Bukit Sangkur Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur adalah ada Di Desa Pakraman Kembang…

3 years ago

Pura Luhur Besikalung

Pura Luhur Besikalung Pura Luhur Besikalung berlokasi di daerah pegunungan di lereng gunung bagian selatan…

3 years ago