Pura Luhur Pucak Padang Dawa, tempat Suci nunas Pasupati Tapakan Barong
JIKA umat Hindu sempat pedek tangkil ke Pura Luhur Pucak Padang Dawa, di wilayah Desa Bangli Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Kahyangan jagat itu dikenal sebagai tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali yang jatuh pada setiap Buda Kliwon Wuku Pahang, pujawali ageng selama tiga hari, puluhan tapakan barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di sejumlah kabupaten di Bali, berkumpul di pura tersebut.
Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara berupa figur pewayangan seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila, Singanana, Sempati, Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan, yang lebih dikenal dengan sebutan Batara Nawa Sanga.
Di Baturiti Tabanan ada tiga kahyangan jagat yang pelawatan Ida Batara-nya sama yaitu Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Pura Luhur atau Kahyangan Jagat Natar Sari Apuan dan Pura Luhur Pucak Kembar, Pacung. Ketiga pura ini tatkala pujawali (karya gede), ngerawuhang puluhan tapakan Ratu Gede (Barong).
Pura Luhur Pucak Padang Dawa terletak di wilayah perbukitan di Desa Bangli, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 45 km arah utara Kota Denpasar atau sekitar 25 km arah utara Kota Tabanan. Untuk bisa sampai di Pura ini, umat bisa melewati jalan dari sebelah selatan Pasar Baturiti menuju ke barat melewati Desa Bangli. Bisa juga melewati jalan dari arah Desa Apuan menuju Tampak Karang dan tembus di Banjar Apityeh, dengan kondisi jalan menanjak. Yang lainnya bisa melalui jalan menuju Banjar Tegeh tembus ke Banjar Sandan. Dari Sandan, perjalanan menuju ke arah timur, kemudian belok ke selatan menuju Pura Luhur Pucak Padang Dawa.
Sekarang tersebutlah Sanghyang Siwa Pasupati setelah terbang diangkasa membawa bongkahan gunung yang diambil dari Gunung Mahameru, selanjutnya beliau berstana di Puncak Candi Purusada yang merupakan cikal bakal adanya Pulau Bali, dimana Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang Bali juga diberi sebutan Bhagawan Mangga Puspa yang dilukiskan dengan perawakan yang amat besar dan kekar dan juga disebut Bhatara Tengahing Segara dan lama kelamaan beliau mempunyai seorang putra yang perawakanya juga tinggi kekar, yang diberi nama Dewa Gede Kebo Iwa Sinuhun Kidul, yang selanjutnya Dewa Gede Kebo Iwa menjadi raja di Pulau Bali dengan gelar Raja Pajenengan / Sanghyang Sinuhun Kidul.
Sanghyang Sinuhun Kidul/Dewa Gede Kebo Iwa yang merupakan Awatara dari Sanghyang Brahma yang mana beliau mempunyai banyak sebutan bagi orang Bali seperti misalnya:
Beliau juga bergelar Bhatara Amurbeng Rat, manakala menciptakan tempat-tempat air (tirtha) seperti, Telaga Waja, Tirtha Bima, Tirtha Wahyu, Tirtha Sudhamala, Tirtha Erbang, Tirtha Mambar-mambur, Tirtha Sapuh Jagat, dan Tirtha Pasupati, yang letaknya tersebar di pulau Bali.
Sekarang tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Buddha Berawa dengan merubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini ditimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Durgha Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya beliau menuju kebarat dan akhirnya beliau tiba di Pucak Padang Dawa,
dan akhirnya beliau bertemu dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra, beliau itu merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan Dewanya Taksu kesenian, beliau juga dewanya para Balian seperti Balian Engengan, Balian Katakson, Balian Usadha, Balian Konteng diwilayah Pulau Bali.
Diuraikan secara acak ===>>> Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup sebagai suami istri, belum juga dikarunia putra, hati beliau sanagat sedih, lalu pada hari yang baik, beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, ring Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapat kelahiran seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga, yang berperawakan tinggi besar, tidak ada orang menyamai di bumi Bali ini. Apalagi tentang kesaktianya, teguh, tidak mempan oleh senjata buatan manusia, ahli dalam bidang pembangunan, beliau sidhi ucap.
Pada tahun Caka 1185/1263 Masehi, lalu beliau Kebo Waruga mendirikan pasukan Taruna Watu, yang jumlah anggotanya sebanyak 33 orang, lalu beliau membangun Pura Dalem Maya pada tahun Caka 1197/1275 Masehi. Setelah selesai membangun pura, pada saat itu tahun Caka 1198/1276 Masehi. Kebo Waruga bingung pikirannya, lalu beliau menyelusup kedesa-desa seperti, Bualu, Pecatu, Tunggaking Pering, Kali Jajuwan, beliau dijunjung di jagat Kali Jajuwan itu, soal makanan beliau sangat rakus, itu sebabnya badannya tinggi dan besar. Oleh sebab itu kesengsaran dan bingung rakyat beliau, lalu Kebo Iwa mengutuk tempat itu dan dinamakan Desa Serangan.
Kebo Iwa berjalan ke utara ke jagat Badung menjadi tukang bangunan suci seperti membuat Candi Raras Maospahit yang menghadap ke barat pada tahun Caka 1200/1278 Masehi. Lagi diceritakan yang menjadi pimpinan jagat Kapal, Bali yang bergelar Dalem Rokaranti, tempat itu bernama Pastenganan yang letaknya arah tenggara Puri ne Kawit, disebut Dalem Pura Sada (Dalem Bringkit-Kebo Iwa), disana beliau mendirikan Candi Raras yang sudah dipastu, yang beliau katakan “ Bilamana ada seorang istri yang sedang mengandung masuk ke pura itu akan gugur kandungannya”.
Desa Kapal itu juga dikutuk tidak boleh membangun mamakai bahan dari batu bata sampai kini, karena beliau yang patut memerintahkan kutukan bumi ini. Beliau bagaikan dewata yang dijunjung seperti Dewata Saking Kidul (Hyang Sinuhun Kidul). Karena Ida Kebo Iwa tidak punya tempat maka beliau mendirikan bale panjang yang disebut Bale Agung, juga mendirikan dapur di desa Sri Jong, Bale Panjang ada di desa Beda, serta semua rakyat tidak berani melawannya.
Lagi diceritakan yang menjadi raja di jagat Bali saat itu adalah Ida Dalem Batu Ireng (Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana, Sri Tapa Hulung, Dalem Bedahulu), mengutus para Demung yang bernama Arya Kalung Singkal di desa Taro. Arya Tunjung Biru, Arya Tunjung Tutur juga patih Kopang di Batur. Arya Pasung Grigis di Tengkulak. Ida Patih Giri Gemana di Jambirana. Patih Tambyak di Jimbaran membuat pondok prajurit mau menguji kesaktianya I Kebo Iwa. Tatkala di hari yang tepat diadakan pertarungan, Ida Sang Prabu Batu Ireng diiringi oleh Mantri Gudug Basur telah naik ketempat yang telah disiapkan, lalu suara kentongan berbunyi bertalu-talu, suara gambelan, suara gemuruh rakyatnya tak henti-hentinya. Lalu Pasung Gerigis memerintahkan patih semuanya untuk melawan I Kebo Iwa mengadu kewisesan (perang tanding), semua patih dan rakyat kalah dalam mengadu tanding tersebut. Dengan demikian Prabu Batu Ireng kagum atas kekuatan I Kebo Iwa, lalu I Kebo Iwa diangkat menjadi patih andalan, kekuatan Ida I Kebo Iwa sangat terkenal sampai diluar pulau Bali.
Diuraikan secara acak, isinya hampir sama dengan Prasasti Pura Maospahit hanya tambahan sebagai berikut, pada tahun Isaka 1185/1263 Masehi, Prajurit Taruna Batu, anggota sebanyak 33 orang, semuanya gagah berani berbusana serba putih, memakai destar Merah api, bunga Waribang Dwikarna, bersenjata Tamyang dan keris 10 orang pengawin samlong mapontang kuningan 10 dan membawa pratoda, dan tiga orang membawa air, pasepan, tirtha suci.
Diceritakan lagi tahun Isaka 1197/1275 Masehi pasukan Teruna Batu membangun Pura Dalem Maya. Dikisahkan lagi Patih Mada bermaksud membuat daya upaya jahat terhadap Sang Kebo Waruga bersama raja Bali karena tahu para patihnya tak ada menandingi kesaktiannya. Kemudian Patih Mada bersama para patih Wilwatikta mendarat di segara rupek di Gilimanuk, menuju ke Telukan Bawang, merambas tegalan di Desa Garabong (Pulaki) serta desa Pangastulan, naik perahu menuju ujung Gunung Tolangkir terus ke Tianyar dan Samprangan.
Ketika diketahui kedatangan para mantri Jawa oleh pasukan Taruna Batu, disambut dengan ramah dan bersalaman, karena sebelumnya sudah ada tanda persahabatan dengan mengibarkan bendera putih, dan perlengkapan upacara agama, lantas diajak kerumah orang tuanya Karang Buncing di Blahbatuh, dan ditanya maksud atas kedatangannya, yaitu menjalankan perintah Sri Aji Wilwatikta melamar Kebo Iwa akan disandingkan dengan putri dari jawa Madura. Atas ijin sang raja lalu Kebo Iwa pamitan dengan para mantri semuanya, juga menghaturkan sembah bhakti dipura Gaduh, lalu menuju ke Pura Luhur Uluwatu, melakukan yoga semadhi seorang diri tanpa ada orang yang mengiringi.
Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju pantai Pula Ayam (bali Tegil), di Benoa, menaiki perahu layar ke tengah samudra, lalu ada tanda yang tidak baik, hujan ribut dan kilat bersahu-sahutan, perahu layar diterjang ombak, tahu dirinya akan kena bencana dan ingat akan kewajiban sebagai seorang ksatrya yaitu kesetiaan, satrya artinya tak boleh ingkar janji, lalu turun berenang ketengah lautan mengobok-obok air laut bagaikan lajunya perahu layar. Kemudian beliau tiba di pulau Jawa dan disambut oleh kedatangannya oleh orang-orang Surabaya, Madura. Tak terbilang banyak menyambut kedatangan Beliau, lalu disuruh membuat sumur dilereng gunung untuk tempat pemandian Sang Dyah dikala hari pernikahan nanti.
Setelah Kebo Iwa dalam menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan-bongkahan batu, lalu disangga batu itu dengan kedua belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu. Lalu kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap, Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tak akan mati oleh batu, juga dengan segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke pulau Bali, dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin mematikan aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua, semoga dikemudian hari di bumi ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semuanya akan kesusahan, demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal didalam sumur menuju kesunyian.
Sesuatu yang unik tampak saat pujawali dan pada umanis karya di Pura ini. Apa itu? Pada puncak pujawali, pelawatan Ida Batara Pura Luhur Pucak Padang Dawa dan semua tapakan Barong dan Rangda yang rawuh, kairing masucian ke Beji secara bersama-sama. Prosesi ritual dengan iring-iringan tapakan Ida Batara yang banyak itu menjadi pemandangan yang unik bernuansa religius. Rawuh masucian dari Beji, Ida Batara dihaturkan upakara tebasan ayaban di pemendak agung, tepatnya di jaba Pura Penataran Agung. Malam harinya, katuran pujawali. Keesokan harinya dilangsungkan prosesi pengunyan ke pelinggih-pelinggih yang ada di Pura Luhur Pucak Padang Dawa.
Prosesi ini juga unik dan menarik, karena seluruh tapakan atau pralingga Ida Batara kairing nyaksi pujawali di Pura-pura yang ada di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Di Pura Luhur Pucak Padang Dawa terdapat sejumlah pura yang masih menjadi satu kesatuan. Pura Luhur Pucak Padang Dawa berada di lokasi paling atas, kemudian ke bawah sedikit terdapat Pura Penataran Agung. Kedua pura ini dicapai dengan menaiki jalan berundak. Berjalan sedikit ke arah tenggara, terdapat Pura Dalem Purwa. Di sebelah timur Pura Dalem Purwa terdapat dua buah pura lagi yakni Pura Puseh Agung dan Pura Tegal Suci.
Tapakan barong yang rawuh, selain ditempatkan di Pura Pucak Padang Dawa, juga di pura-pura tersebut. Seusai prosesi pengunyan mulai pukul 09.00 sampai sekitar pukul 11.30 itu, pralingga Ida Batara kembali ditempatkan di pelinggih. Jika ada yang budal itu dilakukan setelah pukul 12.00. Tetapi, biasanya kebanyakan budal setelah penyineban karya yakni hari Minggu. Namun, jika ada Tapakan Barong yang nunas pasupati, itu dilakukan pada Minggu malam, dan seterusnya. Prosesi ritual pasupati itu dilangsungkan tengah malam di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Sudah menjadi tradisi, keesokan harinya setelah menjalani prosesi pemasupatian, Tapakan Barong tersebut kairing ke Pura Bakungan, sekitar 1 km arah selatan Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Di Pura Bakungan itu berstana Ida Batara yang dikenal dengan sebutan Jaksa Sakti.
Seiring dengan nama Padang Dawa secara etemologi gramatikal dapat diartikan antara lain : Padang berarti Galang,Cahaya, sinar, bawa,dan percikan .Dawa berarti panjang, dan luas. Sehingga Pucak Padang Dawa dapat didepinisikan sebagai berikut : Pucak yang letaknya ditengah-tengah Pulau Dewata ini yang mempunyai pancaran sinar yang luas dan menjulang tinggi di alam ini. Kejadian seperti itu juga pernah terjadi, seiring dengan gempa bumi tahun 1917 yang disebut dengan gejer dan tahun 1976 terjadi asap mengepul menjulang tinggi kelangit.
Mitologi Pura tersebut dapat dibaca pada Purananing Kanda Dewa Bangsul Sari Manik Pura Tuluk Biyu Kintamani Batur, di ataranya sebagai berikut : menjelang tahun Caka 11 bertepatan pada Hari Kamis Keliwon Wara merakih Tilem ke Dasa ( Rah 1 tenggek 1 ) terciptalah beberapa bukit pucak dan gunung di Benoa Bangsul ini oleh kekuatan keduaPutra Hyang Siwa Pasupati yakni Ida Hyang Dewi Danuh bersama Putran Jaya yang memutar serpihan Pucak Manik Gunung Semeru diantaranya adalah Gunung Tohlangkir,Gunung Batukaru,Gunung Masehi Gunung Silangjana Bukit Sangkur,Pucak Pengelengan, Pucak Padang Dawa yang letaknya secara giografis tepat ditengah-tengah Pulau Bali ini. Setelah terwujudnya kekuatan-kekuatan magisnya kedua putra Sanghyang Pasupati tersebut pernah terjadi tragedi yang sangat memperihatinkan di Benoa ini tertimpa oleh wabah penyakit yang disebabkan oleh kekuatan magis dari Durga Kala Joti Srana. Sehingga pada saat itulah Bhatara Gede Sakti yang bersetana di Pucak Padang Dawa merasa kasihan melihat benoa beserta penghuninya tersiksa durjana kemelaratan, akhirnya beliau berkenan menyelamatakan dengan kekuatan batin atau adnyananya dengan angarangsuk Buddha Berawa yang berwujud barong .Pada saat itu akhirnya Bhatara Gede Sakti bertemu dengan Hyang Welaka yang perawakannya hitam , rambutnya keriting berwarna merah, matanya besar dan melotot kemerahan, badanya besar dan tinggi dengan memakai senjata pedang dangastra. Hyang Wulaka tersebut menguwasai ilmu kediyatmikan , sakti dan mengusai segala jenis kesidimandian . Terhadap adanya kejadian tragis seperti itu maka para bala rencang Hyang Wulaka semuanya nyeruti Rupa berubah wujud menjadi bermacam-macam barong diantaranya barong rentet, barong landung, barong bangkal,barong landung, barong naga dan lainnya bersama Bhatara gede sakti ngawa Rat turun menyelamatkan bumi beserta isinya.
Itulah sebabnya untuk di daerah Bali Tengahan pada umumnya pralingga-pralingga Bhatara Gede Sakti yang berupa barong datang ke Pura Pucak Padang Dawa untuk mendapatkan kekuatan magis serta kesidimandian melalui memohon yasa kerti pasupati di Pura tersebut.
Oleh karena merupakan stana dari Bhatara Gede sakti Ngawa Rat sumber dari segala jenis taksu,dewanya taksun balyan, balyan konteng, balyan ketakson, balyang engeng, dan dewanya taksu dari segala jenis taksun kesenian, topeng, baris, serta sumber dari ilmu usadha untuk wilayah Bali, ( satungkebing hoyeng Bangsul ).
Desa Pakraman di Bali jika tertimpa oleh wabah penyakit yang bersumber dari kekuatan magisnya Durga Kala Joti Srana maka melalui nedunang tapakan atau pralingga – pralingga Bhatara Gede Sakti di perempatan jalan, dengan menghaturkan laba serta upakara sesuai dengan kebiasaan Desa Pakraman setempat. Sehingga wabah penyakit akan bersipat netral dan kembali kepada asalnya.
Demikian diataranya bagian yang penting kesidiadnyananing Bhatara Gede Sakti beserta para bala dan rencanganya yang bersetana Di Pucak Padang Dawa.
Pujawali di Pura Luhur Pucak Padang Dawa diselenggarakan setiap hari Rabo, Keliwon, Pahang selalu didatangi oleh ribuan umat dan puluhan barong bahkan sampai 90 Ratu Gede (Barong) yang menjadi sungsungan umat di sejumlah desa pekraman di Bali seperti di Kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana dan Bangli lunga ke Pura Luhur Pucak Padang Dawa, sedangkan umat yang datang pedek tangkil ke Pura tersebut bukan hanya pada waktu Odalan namun setiap hari.Dengan menghaturkan sesajen di kelima pelinggih yang ada hususnya di Beji tempat pangelukatan sering didatangi oleh umat khusunya pada setiap bulan Purnama Dan Tilem.
Pura Luhur Pucak Padang Dawa kaempon sekitar 110 KK krama umat di Banjar Apityeh, Banjar Uma Poh, Banjar Bangli, Banjar Titigalar, Banjar Munduk Andong, Banjar Sandan, dan Banjar Angseri.
Pura Pengubengan - Besakih Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui…
Sanghyang Tumuwuh di Pura Batukaru Avir Vai nama devata, rtena-aste parivrta, tasya rupena-ime vrksah, harita…
Arya Kenceng Arya Kenceng adalah seorang kesatria dari Majapahit yang turut serta dalam ekspedisi penaklukan…
Pura Andakasa Pura Andakasa adalah pura Kahyangan Jagat, yang merupakan deretan pura utama yang ada…
Pura Pucak Bukit Sangkur Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur adalah ada Di Desa Pakraman Kembang…
Pura Luhur Besikalung Pura Luhur Besikalung berlokasi di daerah pegunungan di lereng gunung bagian selatan…