Avir Vai nama devata,
rtena-aste parivrta,
tasya rupena-ime vrksah,
harita haritasrajah.
(Atharvaveda X. 8.31).Maksudnya:
Warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan karena mengandung klorofil di dalamnya. Zat klorofil itu menyelamatkan hidup. Hal itu ditetapkan oleh Rta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan. Karena zat itu tumbuh-tumbuhan menjadi amat berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan.
PURA Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh — sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan.
Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau mengandung klorofil sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan Tuhan di Pura Luhur Batukaru hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual membangun semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber air.
Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuh-tumbuhan akan subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak tercemar oleh emisi CO2. Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Adanya konferensi tentang merubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut dijadikan momentum untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru.
Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.
Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.
Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani.
Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan.
Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti.
Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.
Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya.
Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.
Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru sebagai suatu pemujaan untuk memotivasi umat manusia agar secara nyata melakukan langkah melindungi Tri Chanda sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Atharvaveda XVIII.17. Yang dimaksud Tri Chanda itu adalah air, tumbuh-tumbuhan dan udara. Kalau keberadaan tiga benda yang menutupi bumi ini tidak terganggu oleh ulah manusia yang mau hidup berlebihan maka Tri Chanda itulah yang berfungsi untuk menjadi sumber yang menumbuhkan kehidupan ini. Apa fungsi Tri Chanda di Pura Luhur Batukaru itu?
Tri Chanda itulah yang menyebabkan keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat alami sesuai dengan tattwa yang melatarbelakangi keberadaan Pura Luhur Batukaru tersebut. Demikian juga Pura Presanak atau Jajar Kemiri dari Pura Luhur Batukaru ini melambangkan nilai-nilai spiritual yang memotivasi umat agar senantiasa menjaga kelestarian eksistensi Tri Chanda tersebut. Penampilan fisik Pura Luhur Batukaru tersebut amat artistik mengikuti rona alam di lingkungan pura.
Di Pura Luhur Batukaru ini di samping ada bangunan utama, di sebelah timurnya terdapat sumber mata air terdiri atas dua kompleks. Ada kompleks yang berlokasi di jeroan (dalam) pura pokok yang dipergunakan khusus untuk memohon Tirtha (air suci) untuk kepentingan upacara. Kompleks yang kedua adalah untuk kepentingan mandi dan cuci muka sebagai pembersihan diri dalam rangka persiapan untuk bersembahyang.
Upacara piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada setiap Kamis Wuku Dungulan sehari setelah hari raya Galungan. Suatu yang unik di Pura Luhur Batukaru adalah mengenai upacara piodalan dan upacara besar lainnya tidak pernah dipimpin oleh pandita. Upacara cukup dipimpin oleh pemangku yang disebut Jero Kubayan. Di pura ini Dr. R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi, pernah mengadakan penelitian pada tahun 1928.
Di pura ini, Goris banyak menjumpai patung-patung yang tipenya serupa dengan patung yang terdapat di Goa Gajah yaitu patung yang keluar pancuran air dari pusarnya. Bedanya patung di Goa Gajah berdiri, sedangkan yang di Pura Batukaru duduk bersila. Menurut Goris, patung yang terdapat di Batukaru sezaman dengan patung di Goa Gajah.
Pura Luhur Batukaru denahnya dibagi menjadi tiga mandala. Bangunan yang paling utama di denah yang paling utama atau Utama Mandala berupa candi yang bentuknya sangat mirip dengan bentuk candi di Jawa Timur. Bentuknya ramping atapnya terdiri atas perpaduan tingkatan (punden berundak-undak). Candi utama ini diapit oleh Candi Perwara, serta di ujung kiri dan kanannya diapit oleh Padmasana. Jadi pada leretan bangunan utama terdapat lima bangunan atau pelinggih. Di candi utama inilah dipuja Dewa Mahadewa. Masyarakat menyebutnya Ratu Hyang Tumuwuh.
Mengapa Dewa Mahadewa diberi gelar Ratu Hyang Tumuwuh. Karena untuk menjaga keterpaduan air, udara dan tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Agar semua alam tersebut terpadu adanya, sebagai langkah awal umat mohon tuntunan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh. Karena Tuhanlah sebagai mahapencipta semua unsur alam tersebut. Sebutan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memang sebutan yang amat lokal Bali. Tetapi dibaliknya terdapat nilai-nilai universal tentang etika perlakuan sumber-sumber alam ciptaan Tuhan tersebut. Kalau udara kotor, sumber-sumber air tak terlindungi maka tumbuh-tumbuhan pun akan merana. Kalau tumbuh-tumbuhan merana hidup manusia pun akan menderita kekurangan bahan makanan dan obat-obatan.
Pelinggih utama di Pura Luhur Batukaru berbentuk Candi bukan Meru. Ini jelas pengaruh arsitektur Jawa Timur dan India. Candi tersebut merupakan tempat pemujaan Dewa Mahadewa. Candi diapit oleh Candi Perwara. Di sudut timur laut dan barat laut terdapat Pelinggih Padma Ratu Bagus Panji dan Ratu Puseh Kubayan.
Di pojok barat daya ada dua bangunan Gedong paling selatan berjejer. Dua Gedong itu sebagai Pedharman Raja Badung dan Raja Tabanan. Kedua Raja ini adalah satu klan. Di areal Utama Mandala terdapat tidak kurang dari 24 bangunan penting dan pelengkap. Di areal kedua yang disebut Madya Mandala ada sebuah Pelinggih Gedong stana Ratu Pasek sebagai tempat memohon suksesnya upacara yadnya.
Di pojok barat laut ada Gedong Simpen untuk tempat menyimpan Pratima. Di selatan Gedong Simpen tersebut terdapat bangunan Balai Agung dengan dua belas tiang. Balai Agung ini tempat berkumpulnya semua simbol sakral terutama saat Melasti. Pura Batukaru ini di samping sebagai Pura Sad Kahyangan juga berkedudukan sebagai Pura Catur Loka Pala sebagaimana disebutkan dalam Lontar Purana Bali. Di timur Pura Lempuhyang Luhur, di selatan Pura Andakasa, di Barat Pura Luhur Batukaru dan utara Pura Pucak Mangu.
Pura Luhur Batukaru juga sebagai Pura Padma Bhuwana yaitu sembilan pura yang mengelilingi Pulau Bali. Pura Padma Bhuwana sebagai lambang pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana di sembilan penjuru alam semesta. Tidak ada bagian alam semesta ini tanpa kehadiran Tuhan. Keberadaan Tuhan seperti itulah yang diekspresikan di sembilan pura di Pulau Bali.
Kalau penerapan konsep ketuhanan agama Hindu di Bali ini benar-benar dihayati, maka umat Hindu tidak akan berhenti pada sembahyang dengan upacara yadnya saja dalam mengamalkan ajaran. Itu baru langkah mengarah pada aspek niskala untuk membangun daya spiritual umat. Yang niskala itu seharusnya di-sekala-kan dalam perilaku hidup sehari-hari untuk secara aktif menjaga eksistensi Tri Chanda tersebut sesuai dengan sifat alaminya.
Dalam Chanakya Niti XIV, 18 dinyatakan bahwa untuk mendapatkan hidup sejahtera lindungilah lima hal yaitu: Dharma (kesucian agama) Dhana (aset publik), Dhanyam (bahan makanan), Guru Wacana (kata-kata bijak guru suci), dan Ausada (sistem kesehatan). Kelima unsur tersebut akan terjaga dengan diawali untuk melindungi Tri Chanda bumi ini. Di Bali banyak sekali warisan para resi guru suci berupa kata-kata bijak sebagai pegangan untuk menjaga Tri Chanda dan lima hal untuk membangun hidup sejahtra.
Pura Pengubengan - Besakih Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui…
Arya Kenceng Arya Kenceng adalah seorang kesatria dari Majapahit yang turut serta dalam ekspedisi penaklukan…
Pura Andakasa Pura Andakasa adalah pura Kahyangan Jagat, yang merupakan deretan pura utama yang ada…
Pura Pucak Bukit Sangkur Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur adalah ada Di Desa Pakraman Kembang…
Pura Luhur Besikalung Pura Luhur Besikalung berlokasi di daerah pegunungan di lereng gunung bagian selatan…
Pura Luhur Kubontingguh, Dukuh, Penebel, Tabanan Asal mula areal keberadaan pura yang disebut Banjar Bun…